Welcome to Official site FOSI

Selamat datang di situs resmi Forum Studi Islam An Nuur Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Lambung Mangkutar

Bedah Buku

Bedah buku bersama Ustadz Salim A Fillah, penulis beberapa buku best seller.

Juara Acara Bedah Buku

Selamat bagi yang mendapatkan hadiah, semoga mendapatkan mafaat

Musyawarah Besar

Musyawarah besar Forum Studi Islam An Nuur Fakultas Perikanan dan Ilmu Kealuatan UNLAM

Come Us, Join Us !!

Forum Studi Islam An Nuur Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Lambung Mangkurat

Senin, 13 Agustus 2012

Tahapan Pengembangan Kader-Kader Inti




Tahapan dakwah bisa di ibaratkan sebuah anak tangga menuju sebuah hasil. Berpegang pada tahapan ini membuat segala yang kita lakukan menjadi terarah. Tahapan ini tidak dibatasi oleh waktu, akan tetapi tahapan ini merupakan tahapan dimana ada kriteria yang harus dipenuhi sebelum memasuki tahapan selanjutnya. Sehingga bisa saja dalam salah satu tahapan setiap kader menghabiskan waktu yang berbeda. Apa saja tahapan dakwah yang ada ? 

Membangun Basis Kader Inti
Dalam risalah dakwah yang Rasul ajarkan, sebagaimana kita ketahui ada golongan yang pertama masuk Islam atau kita kenal dengan Ashabiqunal Awwalun. Golongan pertama ini dibina dengan intens oleh Rasul dalam rangka menguatkan fondasi terdalam dan paling bawah dari bangunan Islam. Bisa kita cermati sirah nabawiyah, Rasul mendidik Sahabat ini selama 10 tahun, atau hampir setengah dari masa kenabian beliau, yakni 23 tahun. Sebagaimana yang dilakukan oleh Rasul.
Kaderisasi yang dilakukan pada kader inti ini bersifat khusus dan terbatas, sehingga betul-betul segala yang dibutuhkan untuk dakwah kedepannya diharapkan bisa dimiliki oleh kader inti ini. Hal –hal apakah yang harus dimilki ? dalam hal ini ada 3 kebutuhan utama yang perlu dimiliki.
1. Kepribadian seorang Muslim
kepribadian ini meliputi karakter-karakter yang diperlukan seseorang dalam kehidupannya agar ia bisa menjalankan Islam dan mengajarkannya. Seorang kader inti harus memiliki aqidah yang bersih, ibadah yang benar, akhlak yang baik, tubuh yang sehat, kemampuan menghasilkan atau kuat secara ekonomi, pikiran yang intelek, bersungguh-sungguh dan tekun dalam segala hal, memiliki manajemen diri yang baik, disiplin akan waktu serta mempunyai paradigma untuk selalu bermanfaat bagi orang lain. Dengan adanya kepribadian ini diharapkan seorang kader inti bisa menjadi teladan, bisa menjadi guru dan diterima di kalangan masyarakat luas.
2. Kredibilitas dan Moralitas Pemimpin
Islam mendidik para umatnya untuk menjadi pemimpin bagi dirinya dan kalangannya. Dalam hal ini seorang kader inti, diharapkan bisa menjadi pemimpin dimanapun dia berada dalam rangka mengubah kondisi umat yang dipimpinnya menjadi lebih baik. Bukan untuk kekuasaan semata. Akan tetapi paradigma dakwah dan paradigma memberikan cahaya Islam di muka bumi harus terinternalisasi dengan baik di hati kader inti. Menjadi pemimpin adalah sebuah keniscayaan bagi seorang muslim. Sehingga dalam tahap ini seorang kader inti harus dididik bagaimana menjadi pemimimpin yang kuat dan bertanggung jawab. Seorang pemimpin yang bisa mengayomi seluruh umatnya, seorang pemimpin yang bisa menjadi ulama dan umara dalam waktu bersamaan.
3. Kemampuan khusus lainnya
Setiap manusia dilahirkan dengan potensi , minat , dan bakat yang berbeda. Ada seorang yang ahli dalam hal seni, ada seorang yang mahir berdagang atau saat ini kita kenal dengan entrepreneur, atau ada yang ahli dalam olahraga, dan sebagainya. Kemampuan khusus ini haruslah dikembangkan dengan bijak dan tepat, karena potensi seseorang jika dikembangkan akan jauh lebih cepat dan pesat perkembangannya. Seorang kader inti sebagaimana Rasul juga mendidik sahabatnya , juga memiliki kekhasan tersendiri. Sebutlah Ali bin Abi Thalib yang cerdas dan gemar menuntut ilmu, Umar bin Khattab yang ahli bermain pedang, Mushaf bin Umair yang menjadi pedagang sukses, dan sahabat lainya, yang memiliki potensi besar dan digunakan dengan baik dalam pemanfaatannya untuk kebutuhan dakwah. Seorang kader inti yang ahli dalam seni, bisa jadi dikembangkan dan bisa menjadi kekuatan dalam mengemas dakwah yang lebih komunikatif, seorang yang gemar berolahraga dikembangkan potensinya dalam rangka untuk sebagai duta dakwah diantara para masyarakat yang gemar berolahraga, seorang yang gemar berbisnis, didukung aktifitas bisnisnya agar mampu mendorong perkembangan dakwah dengan kekuatan yang dimiliki.
Pendidikan kader inti ini menjadi tahapan pertama dan menjadi fondasi yang akan menopang agenda dakwah kedepannya. Sehingga perlu dicermati dan ditelaah juga berapa banyak kader inti yang akan ada dan dibina.Pembinaan ini juga harus komprehensif dengan waktu yang tepat. Dengan harapan bisa menjadi core dalam membangun basis massa simpatisan.
Membangun Basis Massa
Setelah terbentuk kader inti , dakwah akan masuk di tahapan selanjutnya, yaitu membangun basis massa. Seringkali kita kenal istilah simpatisan, kurang lebih seperti itu yang akan kita bangun, akan tetapi tidak sekedar massa yang hanya mengatakan mendukung, akan tetapi massa yang senantiasa mengikuti pembinaan yang dilakukan oleh kita. Tujuan dari membangun massa ini adalah memperkenalkan Islam, dan menjadikan Islam sebagai way of life. Islam yang komprehensif dan menjadi solusi dalam kehidupan. Ada dua metode utama dalam memperkenalkan Islam ini.
1. Dakwah dengan melayani
Menilik sirah nabawiyah, proses yang Allah berikan kepada Nabi Muhammad SAW adalah menjadikan beliau Al Amin setelah itu mengangkatnya sebagai Rasul. Dalam hal ini bisa kita ambil kesimpulan bahwa Rasul telah sukses melayani kota mekah sehingga beliau diberi gelar tersebut barulah beliau berdakwah, pelayanan dahulu baru dakwah. Memberikan apa yang umat butuhkan, memang butuh kita sadari bahwa kebutuhan umat sangat variatif, akan tetapi justru di situlah seni bagaimana kita bisa membuktikan bahwa Islam bisa sebagai solusi dalam segala permasalahan yang ada. Jika kita membicarakan dakwah kampus, maka yang kita berikan haruslah sesuai dengan kebutuhan, sebutlah menyediakan informasi tempat tinggal yang murah dan nyaman, memberikan pelayanan fotokopi buku atau bahkan menyediakan buku kuliah dan catatan kuliah, menyediakan tempat bertanya terkait Islam dan syariatnya, memberikan informasi dalam bentuk tulisan, booklet tentang kampus, kota , dan lain sebagainya. Pelayanan ini bisa sangat variatif pula bentuknya sehingga semakin banyak yang memikirkan ini akan semakin banyak varian metode dakwah yang bisa digunakan.
2. Dakwah dengan memimpin
Jika konsep dakwah sebelumnya dengan tipikal menyentuh grass root. Dakwah dengan memimpin adalah pendekatan yang lebih struktural. Walau sebenarnya tidak sekaku itu dalam pelaksanaanya. Dengan memimpin dalam sebuah kelompok, mulai dari kelompok kecil seperti ketua kelompok tugas, ketua kelas, ketua lomba riset hingga ketua kelompok yang lebih besar seperti ketua himpunan mahasiswa, ketua panitia dan sebagainya. Dengan memimpin ini seorang kader bisa menunjukkan bagaimana etos kerja yang dimilkinya bisa membawa kelompok tersebut kearah keberhasilan dan kearah lebih baik. Dalam memimpin ini seorang kader juga bisa berdakwah secara kecil-kecilan dan menanamkan kultur Islam di dalam kelompok. Seperti membiasakan shalat tepat waktu, memulai segala sesuatu dengan niat dan do’a, membiasakan berdo’a kepada Allah dalam setiap keadaan, dan memberikan sebuah nilai-nilai lainnya kepada objek dakwah. Sehingga timbul personal trust seseorang kepada kita , dan menilai bahwa kader kita adalah seseorang yang kuat dan bertanggung jawab, serta mulai meyakini bahwa pola hidup atau way of life yang dilakukan dan dianut oleh kader kita adalah sebuah pemahaman yang baik. Harapan yang bisa timbul adalah kedepannya ada kepercayaan yang ada di masyarakat, dan ketika kader kita menyampaikan risalah Islam, tidak terjadi penolakan diantara masyarakat atau bisa dikatakan objek dakwah kita menerima apa yang akan kita sampaikan.
Setelah menjalani dua varian metode ini, dakwah ini juga butuh sebuah wadah yang bisa menampung simpatisan ini untuk mengikuti pembinaan dan menjadi bagian dari massa kita juga. Wadah ini diharapkan bisa menjadi media yang tepat dalam mengembangkan potensi simpatisan ini agar selanjutnya bisa menjadi kader dakwah pula. Sistem permentoringan atau dalam istilah lain kita kenal dengan usrah atau liqo’ atau halaqoh menjadi wadah yang sangat tepat untuk menampung dan membina para objek dakwah ini. Mentoring adalah proses transfer nilai antara mentor dan binaanya. Dalam proses mentoring ini seorang mentor diharapkan bisa membina 7-10 adik mentor atau binaanya dan memberikan ilmu serta pemikiran yang ada dalam rangka membuat frame berpikir yang Islami. Proses mentoring ini tidak hanya sampai pada tahapan memberikan ilmu, akan tetapi lebih lanjut, mentoring ini bisa menjadi sebuah keluarga kecil bagi para anggotanya.
Sumber : http://dunia.pelajar-islam.or.id/dunia.pii/arsip/tahapan-pengembangan-kader-kader-inti.html
Semoga ada manfaatnya dan dapat mendorong kita untuk membina kader-kader inti di Setiap Wilayah dan di Daerah.

keyword: pengembangan kader-kader, naskah drama umar bin khattab masuk islam, pengembangan kader, wallpaper kader mentoring

Membuat Sistem Kaderisasi




LDK kami berencana untuk membuat sistem kaderisasi yang komprehensif dari tingkat satu hingga lulus, bagaimana cara membuatnya dan apa saja yang perlu diperhatikan ?
Berbicara tentang bagaimana sistem kaderisasi kita akan bericara tentang algoritmaberpikirnya. Karena memang sistem kaderisasi sebetulnya akan baik jika pelaksananya memahami apa yang dilakukan dan mengetahui keluaran dari sistem yang akan dibangun. Adanya sebuah sistem kaderisasi yang komprehensif dan bertahap adalah bagian dari usaha kita untuk membentuk kader yang berkompeten secara terus menerus. Karena disadari atau tidak kebutuhan akan kader yang berkompeten seperti tidak bisa dibendung lagi. Kita akan berpikir bagaimana agar seorang yang bergabung dengan dakwah dengan alasan ingin belajar agama dan saat itu belum bisa mengaji dan dengan mengikuti alur kaderisasi yang dibuat ia akan menjadi seorang da’i yang produktif serta militan. Anda tidak bisa mengandalkan input yang baik saja untuk mendapatkan kader yang berkompeten, sudah saatnya, lembaga dakwah yang membentuk kader yang berkompeten tersebut. Seseorang yang telah memasuki alur kaderisasi yang ada berarti seorang yang telah siap untuk mengikuti pembinaan berkelanjutan untuk pengembangan potensi dirinya.
Sebagai seorang pengkader kita perlu memahami bagaimana peran kaderisasi dalam skematik dakwah kita, saya akan gambarkan dalam gambar tahapan dakwah dibawah ini,

Pada skematik ini ini kita bisa melihat dari 4 tahap dakwah, kaderisasi memegang peran ¾ bagian dari keseluruhan tahapan yang ada. Pada tahap perkenalan untuk rekruitment kader peran syiar sangat berpengaruh, akan tetapi pada tahap selanjutnya, kaderisasi lah yang akan berperan. Makanya, banyak yang sering menyebut lembaga dakwah adalah lembaga kaderisasi. Memang karena pada dasarnya dakwah yang dilakukan adalah untuk membina objek dakwah agar dapat menjadi kader yang kuat dan amanah.
Selanjutnya dalam berpikir bagaimana untuk membuat sistem kaderisasi kita akan selalu bermula dari output yang diharapkan atau dalam bahasa kaderisasi adalah karakter dan kompetensi apa yang akan ada pada kader setelah mengikuti alur kaderisasi ini. Prof. Zuhal dalam bukunya menceritakan tentang konsep berpikir bermula dari akhir dan berakhir dari awal. Saya pikir konsep ini bisa kita aplikasikan dengan baik untuk membuat sistem kaderisasi.
Bermula dari akhir, pada tahapan awal membuat sistem kaderisasi kita perlu menentukan profil ( karakter dan kompetensi ) kader lembaga dakwah kita. Sebutlah untuk kebutuhan kader dakwah kampus, kita membutuhkan kader yang Qur’ani, Intelek, Profesional, Inklusif, Dinamis, dan Sehat. Maka 6 profil ini akan selalu menjadi pegangan kita dalam berpikir tentang alur dan materi yang akan dibuat. Selanjutnya kita menentukan berapa lama proses kaderisasi ini akan dijalankan. Pada umumnya masa kuliah adalah 4 tahun (untuk yang kampus dengan masa studi bukan 4 tahun bisa disesuaikan), maka kita menentukan bahwa lama jenjang kaderisasi ini adalah 4 tahun , terhitung dari pertama kali masuk hingga lulus.


Setelah mengetahui lama alur ini, kita perlu melihat kembali, jenjang karir lembaga yang akan ada, sebutlah :
a. Maganger
b. Staff
c. Kepala Departemen / Kepala Sektor
d. Kepala Lembaga Dakwah

Dengan empat jenjang karir ini, kita bisa melihat bagaimana nanti kader akan menjadi apa di tahun keberapa. Diperlukan juga penentuan kapan seseorang akan memimpin sebuah lembaga, barulah kita bisa menentukan yang lainnya. Contoh :
a. Kepala lembaga ( semester 6 dan 7 )
b. Kepala departemen ( semester 4 dan 5 )
c. Staff ( semester 2-3 )
d. Maganger ( semester 1 )

Ini merupakan contoh hirarki angkatan dalam kepemimpinan lembaga dakwah, dengan efektifitas 3 angkatan untuk menjalankan roda dakwah. Dengan penentuan ini makan kita juga bisa menentukan jenjang kader yang akan dibuat. Jenjang kader dibutuhkan untuk memudahkan pengelompokkan pembinaan yang akan dilakukan, sehingga terbentuk cluster pembinaan pada setiap jenjang ini. Perlu diingat bahwa adanya penjenjangan ini bukan untuk membedakan, tapi agar adanya keseimbangan antara pemahaman dengan beban tanggung jawab yang akan dibangun. Berdasarkan apalah seorang kader menaiki jenjang, sejauh pengamatan saya ada beberapa tipe kenaikan jenjang, yakni ;
a. Penjenjangan berbasis tahun, jadi setiap kader akan menaiki jenjang tertentu seiring kenaikan tingkat dalam akademis
b. Penjenjangan berbasis diklat, dimana seorang kader dapat menaiki jenjang tertentu setelah mengikuti diklat tertentu
c. Penjenjangan berbasis profil, setiap kader bisa menaiki jenjang tertentu ketika sudah memenuhi profil tertentu. Sebutlah, dari sisi profil Qur’aniyah, dengan jenjang kader 4 tahap, pada tahap satu ia harus hafal 1/3 juz Al Qur’an, pada tahap 2 ia harus hafal 2/3 juz Al Qur’an dan seterusnya.

Jenjang pengkaderan ini lalu disesuaikan dengan jenjang karir dalam lembaga dakwah. Dengan adanya sinkronisasi antara jenjang kader dengan jenjang karir dakwah, maka kita akan memiliki kader yang betul betul telah memenuhi kriteria untuk sebuah tanggung jawab tertentu., contoh :

Sebagai tambahan, perlu adanya penamaan pada setiap jenjangnya. Contohnya :

Setelah kita menentukan alur yang akan digunakan, selanjutnya kita akan menentukan materi apa yang diberikan pada setiap jenjangnya. Dalam menentukan materi ini, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Barulah pada bagian selanjutnya kita berpikir berakhir dari awal.
1. Kondisi eksisting kader
2. Kebutuhan dasar kader
3. Output yang diharapkan
4. Kondisi akademik di kampus
5. Tantangan dan kebutuhan kedepan

Materi yang ditentutkan juga perlu menyesuaikan profil yang akan dibentuk dan paradigma bahwa kita adalah seorang yang mengikuti alur ini. Anda harus bisa berasumsi bahwa Anda adalah seorang kader yang mengikuti alur, sehingga apa yang kita susun bukan berdasarkan apa yang kita butuhkan, tapi apa yang kader butuhkan. Materi pun perlu ditentukan tingkatan prioritasnya, mana yang harus disampaikan, mana yang bisa tidak disampaikan, mana yang disampaikan pada kondisi tertentu atau pada kader tertentu saja.
Materi yang diberikan diharapkan dapat meliputi beberapa hal, antara lain :
1. Aspek diniyah ( fiqih, akhlak, sirah, dll )
2. Aspek Qur’aniyah ( tahsin, tahfidz, tafsir )
3. Aspek pengembangan potensi diri ( leadership, negoisasi, komunikasi , pribadi visioner)
4. Motivasi diri
5. Akademik ( tutorial, persiapan pasca kampus )
6. Pemahaman dakwah kampus
7. Softskill ( menyetir, memasak, multimedia )

Ketujuh poin ini sebisa mungkin diberikan secara seimbang, sehingga kader memiliki banyak input bagi dirinya dan memberikan kesempatan bagi kader untuk terus mengembangkan diri. Dengan adanya keseimbangan ini kader juga akan memiliki pengetahuan yang komprehensif. Sehingga dapat menjadi modal penting bagi dirinya untuk menjalankan beban tanggung jawab dakwah dengan baik. Terkait penentuan materi, saya merekomendasikan untuk dicari dari berbagai buku referensi dan permintaan dari kader sendiri.
Penentuan metode menjadi tahap selanjutnya dalam penyusunan sistem kaderisasi. Metode adalah sebuah cara atau sarana yang digunakan untuk menyampaikan materi tertentu. Bisa jadi satu metode untuk beberapa materi, atau satu materi membutuhkan beberapa metode untuk disampaikan, dengan sebuah landasan, yakni ketersampaian materi secara tepat kepada kader. Penentuan metode ini perlu diperhatikan,karena sering saya melihat penyampaian metode yang monoton ( sebutlah dengan ceramah saja ) membuat kader jenuh, dan justru penyampaian materi menjadi kurang tepat. Beberapa contoh metode yang bisa dilakukan antara lain :
Mentoring, Seminar, Focus group discussion, Penugasan, Membaca buku, Rihlah (jalan jalan), Membuat tulisan, Outbound, Kemah, Olahraga, Talkshow, Mimbar bebas, Menemui tokoh / seorang yang punya ilmu , Bakti sosial, dan Kaderisasi aktif

Sebagai seorang pengkader diperlukan adanya mix and match antara materi dan metode, perlu dipastikan bahwa setiap materi mempunyai pasangan metode yang tepat. Pengembangan metode biasanya bisa sangat bervariatif, untuk satu contoh metode talkshow, bisa dengan satu pembicara, dua pembicara, debat antar pembicara, kupas tuntas hingga puas, atau diskusi. Imajinasi dan kreatifitas dari pengelola kaderisasi perlu ditingkatkan. Ada baiknya menurut saya seorang pelaksana kaderisasi untuk mengikuti pola pembinaan atau pengembangan diri dari lembaga selain lembaga dakwah yang di ikutinya. Karena variasi metode sekarang semakin berkembang pesat.
Tahap akhir dari penyusunan sistem kaderisasi adalah mengoverlay atau mengsinkronsiasikan antara alur, jenjang, materi dan metode yang telah ada dalam skema atau alur yang bisa dipahami dengan mudah. Adanya skematik ini diharapkan dapat mempermudah pemahaman dari pelaksana maupun kader yang menjalani pola ini. Dengan adanya sistem yang komprehensif dan bertahap ini diharapkan lembaga dakwah bisa produktif membentuk kader dakwah yang nantinya akan menjadi aset sangat berharga untuk perbaikan dakwah di kampus Anda.


Sabtu, 11 Agustus 2012

Cara I’tikaf sesuai Al-Quran dan Sunnah Nabi



I’tikaf secara bahasa berarti menetap pada sesuatu. Sedangkan secara syar’i, i’tikaf berarti menetap di masjid dengan tata cara yang khusus disertai dengan niat.[1]
Dalil Disyari’atkannya I’tikaf
Ibnul Mundzir mengatakan, “Para ulama sepakat bahwa i’tikaf itu sunnah, bukan wajib kecuali jika seseorang mewajibkan bagi dirinya bernadzar untuk melaksanakan i’tikaf.”[2]
Dari Abu Hurairah, ia berkata,
كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ عَشْرَةَ أَيَّامٍ ، فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِى قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan selama sepuluh hari. Namun pada tahun wafatnya, Beliau beri’tikaf selama dua puluh hari”.[3]
Waktu i’tikaf yang lebih afdhol adalah di akhir-akhir ramadhan (10 hari terakhir bulan Ramadhan) sebagaimana hadits ‘Aisyah, ia berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadhan hingga wafatnya kemudian isteri-isteri beliau pun beri’tikaf setelah kepergian beliau.”[4]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dengan tujuan untuk mendapatkan malam lailatul qadar, untuk menghilangkan dari segala kesibukan dunia, sehingga mudah bermunajat dengan Rabbnya, banyak berdo’a dan banyak berdzikir ketika itu.[5]
I’tikaf Harus Dilakukan di Masjid
Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”(QS. Al Baqarah: 187). Demikian juga dikarenakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu juga istri-istri beliau melakukannya di masjid, dan tidak pernah di rumah sama sekali. Ibnu Hajarrahimahullah berkata, “Para ulama sepakat bahwa disyaratkan melakukan i’tikaf di masjid.”[6]Termasuk wanita, ia boleh melakukan i’tikaf sebagaimana laki-laki, tidak sah jika dilakukan selain di masjid.[7]
I’tikaf Boleh Dilakukan di Masjid Mana Saja
Menurut mayoritas ulama, i’tikaf disyari’atkan di semua masjid karena keumuman firman Allah di atas (yang artinya) “Sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”[8]
Imam Bukhari membawakan Bab dalam kitab Shahihnya, “I’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramdhan dan i’tikaf di seluruh masjid.” Ibnu Hajar menyatakan, “Ayat tersebut (surat Al Baqarah ayat 187) menyebutkan disyaratkannya masjid, tanpa dikhususkan masjid tertentu”[9].[10]
Para ulama selanjutnya berselisih pendapat masjid apakah yang dimaksudkan. Apakah masjid biasa di mana dijalankan shalat jama’ah lima waktu[11] ataukah masjid jaami’ yang diadakan juga shalat jum’at di sana?
Imam Malik mengatakan bahwa i’tikaf boleh dilakukan di masjid mana saja (asal ditegakkan shalat lima waktu di sana, pen) karena keumuman firman Allah Ta’ala,
وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”(QS. Al Baqarah: 187). Ini juga menjadi pendapat Imam Asy Syafi’i. Namun Imam Asy Syafi’i rahimahullah menambahkan syarat, yaitu masjid tersebut diadakan juga shalat Jum’at.[12] Tujuannya di sini adalah agar ketika pelaksanaan shalat Jum’at, orang yang beri’tikaf tidak perlu keluar dari masjid.
Kenapa disyaratkan di masjid yang ditegakkan shalat jama’ah? Ibnu Qudamah katakan, “Shalat jama’ah itu wajib (bagi laki-laki). Jika seorang laki-laki yang hendak melaksanakan i’tikaf tidak berdiam di masjid yang tidak ditegakkan shalat jama’ah, maka bisa terjadi dua dampak negatif: (1) meninggalkan shalat jama’ah yang hukumnya wajib, dan (2) terus menerus keluar dari tempat i’tikaf padahal seperti ini bisa saja dihindari. Jika semacam ini yang terjadi, maka ini sama saja tidak i’tikaf. Padahal maksud i’tikaf adalah untuk menetap dalam rangka melaksanakan ibadah pada Allah.”[13]
Wanita Boleh Beri’tikaf
Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan istri beliau untuk beri’tikaf.  ‘Aisyahradhiyallahu ‘anha berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ ، وَإِذَا صَلَّى الْغَدَاةَ دَخَلَ مَكَانَهُ الَّذِى اعْتَكَفَ فِيهِ – قَالَ – فَاسْتَأْذَنَتْهُ عَائِشَةُ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan. Apabila selesai dari shalat shubuh, beliau masuk ke tempat khusus i’tikaf beliau. Dia (Yahya bin Sa’id) berkata: Kemudian ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha meminta izin untuk bisa beri’tikaf bersama beliau, maka beliau mengizinkannya.”[14]
Dari ‘Aisyah, ia berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadhan hingga wafatnya kemudian isteri-isteri beliau pun beri’tikaf setelah kepergian beliau.”[15]
Namun wanita boleh beri’tikaf di masjid asalkan memenuhi 2 syarat: (1) Meminta izin suami dan (2) Tidak menimbulkan fitnah (godaan bagi laki-laki) sehingga wanita yang i’tikaf harus benar-benar menutup aurat dengan sempurna dan juga tidak memakai wewangian.[16]
Lama Waktu Berdiam di Masjid
Para ulama sepakat bahwa i’tikaf tidak ada batasan waktu maksimalnya. Namun mereka berselisih pendapat berapa waktu minimal untuk dikatakan sudah beri’tikaf. [17]
Bagi ulama yang mensyaratkan i’tikaf harus disertai dengan puasa, maka waktu minimalnya adalah sehari. Ulama lainnya mengatakan dibolehkan kurang dari sehari, namun tetap disyaratkan puasa. Imam Malik mensyaratkan minimal sepuluh hari. Imam Malik  juga memiliki pendapat lainnya, minimal satu atau dua hari. Sedangkan bagi ulama yang tidak mensyaratkan puasa, maka waktu minimal dikatakan telah beri’tikaf adalah selama ia sudah berdiam di masjid dan di sini tanpa dipersyaratkan harus duduk.[18]
Yang tepat dalam masalah ini, i’tikaf tidak dipersyaratkan untuk puasa, hanya disunnahkan[19]. Menurut mayoritas ulama, i’tikaf tidak ada batasan waktu minimalnya, artinya boleh cuma sesaat di malam atau di siang hari.[20] Al Mardawi rahimahullahmengatakan, “Waktu minimal dikatakan i’tikaf pada i’tikaf yang sunnah atau i’tikaf yang mutlak[21] adalah selama disebut berdiam di masjid (walaupun hanya sesaat).”[22]
Yang Membatalkan I’tikaf
  1. Keluar masjid tanpa alasan syar’i dan tanpa ada kebutuhan yang mubah yang mendesak.
  2. Jima’ (bersetubuh) dengan istri berdasarkan Surat Al Baqarah ayat 187. Ibnul Mundzir telah menukil adanya ijma’ (kesepakatan ulama) bahwa yang dimaksud mubasyaroh dalam surat Al Baqarah ayat 187 adalah jima’ (hubungan intim)[23].
Yang Dibolehkan Ketika I’tikaf
  1. Keluar masjid disebabkan ada hajat yang mesti ditunaikan seperti keluar untuk makan, minum, dan hajat lain yang tidak bisa dilakukan di dalam masjid.
  2. Melakukan hal-hal mubah seperti mengantarkan orang yang mengunjunginya sampai pintu masjid atau bercakap-cakap dengan orang lain.
  3. Istri mengunjungi suami yang beri’tikaf dan berdua-duaan dengannya.
  4. Mandi dan berwudhu di masjid.
  5. Membawa kasur untuk tidur di masjid.
Mulai Masuk dan Keluar Masjid
Jika ingin beri’tikaf selama 10 hari terakhir bulan Ramadhan, maka seorang yang beri’tikaf mulai memasuki masjid setelah shalat Shubuh pada hari ke-21 dan keluar setelah shalat shubuh pada hari ‘Idul Fithri menuju lapangan. Hal ini sebagaimana terdapat dalam hadits ‘Aisyah, ia berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ ، وَإِذَا صَلَّى الْغَدَاةَ دَخَلَ مَكَانَهُ الَّذِى اعْتَكَفَ فِيهِ – قَالَ – فَاسْتَأْذَنَتْهُ عَائِشَةُ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan. Apabila selesai dari shalat shubuh, beliau masuk ke tempat khusus i’tikaf beliau. Dia (Yahya bin Sa’id) berkata: Kemudian ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha meminta izin untuk bisa beri’tikaf bersama beliau, maka beliau mengizinkannya.”[24]
Namun para ulama madzhab menganjurkan untuk memasuki masjid menjelang matahari tenggelam pada hari ke-20 Ramadhan. Mereka mengatakan bahwa yang namanya 10 hari yang dimaksudkan adalah jumlah bilangan malam sehingga seharusnya dimulai dari awal malam.
Adab I’tikaf
Hendaknya ketika beri’tikaf, seseorang menyibukkan diri dengan melakukan ketaatan seperti berdo’a, dzikir, bershalawat pada Nabi, mengkaji Al Qur’an dan mengkaji hadits. Dan dimakruhkan menyibukkan diri dengan perkataan dan perbuatan yang tidak bermanfaat.[25]

[1] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/1699.
[2] Al Mughni, 4/456.
[3] HR. Bukhari no. 2044.
[4] HR. Bukhari no. 2026 dan  Muslim no. 1172.
[5] Latho-if Al Ma’arif, hal. 338
[6] Fathul Bari, 4/271.
[7] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/13775.
[8] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/151.
[9] Fathul Bari, 4/271.
[10] Adapun hadits marfu’ dari Hudzaifah yang mengatakan, ”Tidak ada i’tikaf kecuali pada tiga masjid yaitu masjidil harom, masjid nabawi dan masjidil aqsho”; perlu diketahui, hadits ini masih diperselisihkan statusnya, apakah marfu’ (sabda Nabi) atau mauquf (perkataan sahabat). (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/151). Jika melihat perkataan Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah, beliau lebih memilih bahwa hadits tersebut hanyalah perkataan Hudzaifah ibnul Yaman. Lihat Fathul Bari, 4/272.
[11] Walaupun namanya beraneka ragam di tempat kita, baik dengan sebutan masjid, musholla, langgar, maka itu dinamakan masjid menurut istilah para ulama selama diadakan shalat jama’ah lima waktu di sana untuk kaum muslimin. Ini berarti jika itu musholla rumahan yang bukan tempat ditegakkan shalat lima waktu bagi kaum muslimin lainnya, maka ini tidak masuk dalam istilah masjid. Sedangkan dinamakan masjid Jaami’ jika ditegakkan shalat Jum’at di sana. Lihat penjelasan tentang masjid di Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/13754.
[12] Lihat Al Mughni, 4/462.
[13] Al Mugni, 4/461.
[14] HR. Bukhari no. 2041.
[15] HR. Bukhari no. 2026 dan  Muslim no. 1172.
[16] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/151-152.
[17] Lihat Fathul Bari, 4/272.
[18] Idem.
[19] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/153.
[20] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/154.
[21] I’tikaf mutlak, maksudnya adalah i’tikaf tanpa disebutkan syarat berapa lama.
[22] Al Inshof, 6/17.
[23] Fathul Bari, 4/272.
[24] HR. Bukhari no. 2041.
[25] Lihat pembahasan I’tikaf di Shahih Fiqh Sunnah, 2/150-158.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...